https://drive.google.com/file/d/1f4Zby1ESIy8bC1vIgD8pFxV8uWEn-UJA/view?usp=drivesdk
Selasa, 28 April 2020
Kamis, 23 April 2020
Psikologi Sosial: EMOSI
MAKALAH
PSIKOLOGI SOSIAL
“EMOSI”
Dosen
Pengampu : A.M. Fahrurrozi, S. Psi, M.A.
Disusun
Oleh Kelompok 1 :
1. Rosikin (191530045)
2. Vina Millaturohman (191530057)
3. Hani Az Zahrah (191530061)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM KELAS 2B
FAKULTAS
DAKWAH
UIN
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2020
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin ‘movere’
yang berarti ‘menggerakkan, bergerak.’ Kemudian ditambah dengan awalan ‘e-‘
untuk memberi arti ‘bergerak menjauh.’ Makna ini menyiratkan kesan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.[1]
Emosi
adalah suatu konsep yang majemuk, sehingga tidak ada satupun definisi yang
dapat diterima secara universal. Namun, Shiraev dan Levy (2010) mencoba
menjelaskan emosi sebagai sebuah respon evaluatif yang biasanya mencakup
kombinasi dan rangsangan fisiologis, pengalaman subjektif (positif, negatif,
atau ambivalen), dan ekspresi perilaku. Kesenangan dan kecewa, sedih dan
terkejut, iri dan bangga, dan berbagai emosi lainnya menemani kehidupan kita
sehari-hari tanpa menghiraukan bahasa yang kita gunakan. Kita menunjukkan emosi
semenjak kita lahir. Kita juga mempelajari emosi dari berbagai sumber yang kita
temui sehari-hari, misalnya orang sekitar kita, buku yang kita baca, maupun
film yang kita tonton.[2]
Didalam
psikologi, emosi diartikan sebagai reaksi penilaian, baik positif maupun
negatif. Yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari
luar atau dari dalam dirinya sendiri. Emosi tersebut dapat dirasakan oleh
manusia akibat adanya beberapa hal berikut ini.
·Pengalaman
Subjektif, misalnya putus pacaran, mendapatkan hadiah dari orang tua, dan
sebagainya.
·Perilaku
Overt, misalnya menangis, tertawa, mengumpat, dan sebagainya.
-Motivasi,
misalnya keinginan untuk mencapai tujuan tertentu, keinginan untuk menghindar
atau mendekati sesuatu, dan sebagainya.
·Proses
Fisiologis, misalnya tekanan darah, hormon adrenalin yang meningkat, dan
sebagainya.
· Proses
Belajar, misalnya takut terhadap benda, berbulu akibat kondisioning yang
dialaminya.
·Kondisi
Sistem-Sistem Saraf Seseorang, misalnya seseorang yang selalu marah karna saraf
di otaknya terganggu.
Emosi
sering dikaitkan dengan berbagai istilah. Dalam psikologi modern, emosi
diartikan dengan kognisi. Hal ini karena emosi dianggap tidak bisa pisahkan
dari kognisi dan prilaku manusia. Hal ini saling berkaitan dan pengaruhi,
bahkan sampai ditahap tertentu akan saling terintegrasi. Menurut sloman ( 2001
), emosi merupakan proses kognitif. Beberapa peneliti bahkan mencoba membedakan
antara emosi manusia dengan perilaku afektif
pada hewan. Lebih lanjut, otak sering kali diaggap sebagai sistem
pemprosesan informasi. Hal ini menyebabkan munculnya anggapan bahwa otak yang
tidak memiliki emosi, motivasi, ketakutan, dan harapan adalah otak yang tidak
lengkap.
Di samping itu
emosi juga sering dikaitkan dengan istilah lainnya, seperti :
·
Afek,
merupakan sinonim dari emosi dalam psikologi dan psikiatri, istilah ”afek”
digunakan untuk menjelaskan pengalaman emosional yang terkualifikasi ( misal :
emosi yang dirasakan dengan kuat (intense), perasaan labil atau perasaan yang
tidak tepat dengan situasi yang di hadapi ) atau terkuatifikasi (misal: skor
tinggi dalam skala yang mengukur emosi positif).
·
Affect
Display, yaitu ekspresi dari emosi yang dirasakan. Misalnya, ekspresi wajah,
postur tubuh, kualitas suara, dan sebagainya.
·
Sifat
(disposition), mengacu pada karakteristik yang membedakan seseorang, cenderung
untuk bereaksi terhadap situasi situasi tertentu dengan emosi tertentu pula.
·
Perasaan
(feeling), biasanya mengacu pada aspek emosi yang subjektif dan fenomenologis.
Misalnya, pengalaman internal mengenai kecemasan, kesedihan, cinta, kebanggaan,
dan lain sebagainya.
·
Mood,
mengacu pada kondisi emosional dengan durasi yang relatif sebentar. Misalnnya,
depresi, euforia, netral, atau mood yang mengganggu.[3]
Richard
S.Lazarus (1991:37), seorang Profesor Universitas California yang telah
malang-melintang dalam penelitian emosi, lebih senang mengutip definisi dari
para pendahulunya seperti Hilman (1960) dan Drever (1952) sebagai berikut:
(Emosi
dilukiskan dan dijelaskan secara berbeda oleh psikolog yang berbeda, namun
semua sepakat bahwa emosi adalah bentuk yang kompleks dari organisme yang melibatkan
perubahan fisik dari karakter yang luas dalam bernafas, denyut nadi, produksi
kelenjar, dsb. Dan dari sudut mental adalah suatu keadaan senang atau cemas,
yang ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata dari suatu
tingkah laku. Jika emosi ini sangat kuat akan terjadi sejumlah gangguan
terhadap fungsi intelektual, tingkat disasosiasi dan kecendrungan terhadap
tindakan yang bersifat tidak terpuji. Di luar deskripsi ini, hal lain akan
berarti masuk ke dalam bidang yang kontroversial).[4]
Dalam
Al-Qur’an tidak dijumpai kosa kata spesifik yang berdenotasi emosi, tetapi
ditemukan banyak ayat yang berbicara tentang perilaku emosi yang ditampilkan
manusia dalam berbagai peristiwa kehidupan. Kata “sya’ura” yang bisa
dianggap dekat artinya dengan perasaan dan dijumpai berulang-ulang dalam
Al-Qur’an tidak dimaknai sebagai emosi. Ungkapan dalam Al-Qur’an tentang emosi
manusia digambarkan langsung bersama peristiwa yang sedang terjadi, misalnya
gambaran dalam kondisi bahagia, marah, takut, benci, kaget, atau dalam keadaan
yang lain. Terdapat kesan kuat pada ayat-ayat tersebut adanya pembedaan yang
tajam antara emosi positif dan negatif. Hal ini tampaknya dimaksudkan sebagai motivasi agar manusia
selalu mengedapankan emosi positif dalam kehidupan individual dan sosial, yakni
emosi yang dapat mengantar manusia meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. [5]
·
Emosi
Negatif
Dalam beberapa pengalaman yang berkaitan
dengan frustasi, terdapat banyak stimulus berbahaya yang dapat menghasilkan
perasaan negatif dan meningkatkan agresif, terdiri dari: keributan, kepadatan,
sakit fisik, dan hymer, bau busuk, dan rokok. Banyak orang mengatakan bahwa
temperatur dan temperamen dapat muncul dalam waktu yang bersamaan.
·
Emosi
Positif
Seperti frustasi dan stimulus yang
berbahaya, pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan dapat meningkatkan
agresi. Ketika orang terpengaruh untuk menyerang dan menghina, mereka biasanya
akan membalas dendam.[6]
William James (1884),
yang menawarkan teori bahwa emosi ada di dalam pengalaman ragawi. Pengalaman
fisik menyebabkan seseorang bangkit secara psikologis dan kebangkitan ini
menstimulasi pengalaman subjektif seperti kecemasan, kegembiraan dan
sebagainya. Menurut James, orang tidak bertepuk tangan karena mereka senang;
tetapi karena mereka senang maka mereka bertepuk tangan. James bahkan memberi
saran tentang bagaimana merasakan emosi tertentu: “Jalan menuju keceriaan,
seandainya kita merasa akan kehilangan keceriaan, adalah duduk dengan perasaan
riang dan berbicara seolah-olah keceriaan sudah ada. Agar bisa merasa berani,
bertindaklah seolah-olah kita berani, gunakan semua kemauan kita untuk tujuan
itu, maka keberanian akan muncul menggantikan rasa takut”.
Empat
puluh tahun kemudian, Cannon dan Bard memublikasikan pendapat yang lain, yang
disebut teori emosi Cannon-Bard. Menurut teori ini, situasi hidup yang beragam
seperti saat laba-laba merayap di bahu dapat secara simultan menimbulkan
pengalaman emosi, seperti jijik atau takut, dan respons tubuh, seperti naiknya
tekanan darah atau telapak tangan berkeringat (Cannon, 1927). Dan menurut
teori (Schacter & Singer, 1962) ada
dua elemen penting dari pengalaman emosional: kebangkitan fisiologis dan interpretasi
kognitif atas kebangkitan itu. Dalam setiap emosi, kita pertama-tama mengalami
keadaan kebangkitan fisiologis. Kemudian kita mencoba menjelaskannya kepada
diri kita tentang apa makna kebangkitan itu. Jika situasinya menunjukan bahwa
kita akan mengalami kesenangan, kita menyebutnya gembira. Jika ada orang lain
mengancam, kita menyebut pengalaman ini sebagai rasa takut.[7]
Charles
Darwin di tahun 1872 pernah mengajukan pernyataan yang menyatakan bahwa
ekspresi emosi wajah itu bersifat bawaan dan dapat dipahami oleh semua orang di
muka bumi ini. Darwin percaya bahwa kemampuan sesorang untuk mengenali emosi
pihak lain merupakan nilai hidup untuk semua anggota spesies. Misalnya, kita
mungkin lebih hati-hati pada orang yang menunjukkan emosi marah daripada emosi
senang, karena bila tidak hat-hati orang yang marah dapat mencederai orang
lain, sedangkan orang yang bahagia tentunya tidak akan mencederai pihak lain.[8]
Salah
satu dari beberapa modal dasar manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari
adalah emosi. Tanpa adanya emosi maka kehidupan manuia akan terlihat kering.
Hubungan antar manusia akan dikatakan baik atau buruk tergantung ungkapan emosi
yang dilakukan mereka. Beberapa ahli berpendapat bahwa emosi merupakan hasil
manifestasi dari keadaan fisiologis dan kognitif manusia, juga merupakan cermin
dari pengaruh kultur budaya dan sistem sosial. Di Indonesia pada umumnya masih
sering terdengar stereotip-stereotip kesukuan yang menunjukkan karakteristik
pengungkapan emosi suatu kultur tertentu dalam proses interaksi sosial.[9]
B. Kesamaan Pengalaman Emosional
Orang
dapat memberitahukan emosi orang lain. Meskipun kita tidak berbicara dengan
bahasa orang lain, kita sering bisa mengerti apakah orang litu senang atau
sedih. Jika anda memahami yang dirasakan orang lain dengan menilainya dari
ekspresi emosionalnya, dan jika mereka juga dapat menilai emosi anda dengan
benar, maka itu berarti perasaan manusia adalah universal. Inilah yang
dikatakan oleh Darwin (1872) dalam karya terkenalnya, Ekspression of the
Emotions in Man and Animals. Dia mengumpulkan wawancara dari seluruh dunia
dan menyimpulkan bahwa ekspresi emosi manusia adalah sama karena berfungsi
untuk tujuan adaptasi. Baik hewan maupun manusia mengisyaratkan kesiapannya
atau kesediaannya untuk membantu, untuk berkelahi, atau untuk lari, dengan
menggunakan gestur, postur, dan ekspresi wajah. Bayangkan, misalnya, anda
melihat mata kawan anda membelalak, anda mendengar jeritannya, dan anda melihat
dia melempar segelas soda. Kombinasi reaksi ini mungkin membuat anda waspada
adanya fakta bahwa kawan anda itu mungkin sedang takut atau jijik oleh sesuatu
yang dijumpainya di dalam gelas soda itu. Rasa takut dan marah, misalnya,
menimbulkan akselerasi detak jantung lebih cepat ketimbang saat merasa senang.
Kemarahan atau rasa takut berhubungan dengan respons berkelahi atau melarikan
diri yang mengharuskan jantung memompa lebih banyak darah ke otot.[10]
Studi
kompratif pada 2004 yang melibatkan 37 negara mengungkapkan bahwa orang di
Barat maupun non-barat menunjukan pola umum yang sama dalam hal ekspresi emosi.
Lelaki, dibanding wanita, cenderung lebih banyak mengekspresikan kemarahan,
sedangkan wanita, dibanding pria, lebih sering mengekspresikan kesedihan dan
ketakutan (Fischer et al., 2004).[11]
C. Emosi Sebagai Evaluasi
Kita biasanya menyadari
emosi kita, dan merasa baik atau buruk, takut, kaget, frustasi, atau lega pada
waktu yang berbeda-beda. Meski ada banyak variasi individual, ada beberapa
norma dan aturan kultural yang mengatur evaluasi emosi kita. Beberapa emosi dapat dianggap tidak
tepat dan karenanya ditekan, seperti merasa iri dengan kesuksesan saudara anda.
Emosi lain mungkin sah dan diharapkan, seperti merasa senang setelah sembuh
dari sakit.[12]
D. Emosi Bagian Dari Kehidupan
Memuncaknya
emosi yang tak terkendali memunculkan masalah yang runyam, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Tak bisa dibayangkan andai semua dialami manusia
mengejawabkan dalam satu jenis ekspresi emosi saja.[13]
Betapa
peliknya mendefinisikan emosi, begitu pula dalam hal pengklasifikasian. Banyak
hal yang diperdebatkan oleh para ahli, kendati beberapa diantaranya telah
disepakati. Peliknya pengklasifikasian emosi ini, menurut Sarlito (2000b:53),
disebabkan beberapa hal berikut:
a. Emosi yang sangat mendalam menyebabkan
aktivitas badan juga meninggi, sehingga seluruh tubuh diaktifkan, dan dalam
keadaan seperti itu sulit menentukan
apakah seseorang sedang marah atau takut.
b. Seseorang dapat menghayati satu jenis
emosi dengan beragam cara. Misalnya, dalam situasi marah ia gemetar, dan pada
saat yang lain memaki-maki atau mungkin lari.
c. Penamaan jenis-jenis emosi biasanya
didasarkna pada sifat rangsangannya, dan bukan keadaan emosi. ‘Takut’ adalah
emosi yang timbul terhadap sesuatu yang menjengkelkan.
d. Pengenalan emosi secara subyektif dan
intropektif sukar dilakukan karena tetap saja ada pengaruh dari lingkungan.
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa emosi yang dialami manusia sangat beragam
dan sangat luas. Karena itu, harus dibedakan terlebih dahulu mana emosi dasar
(primer) dan mana emosi campuran (mixed).[14]
Varian-varian
emosi ini memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan. Menurut Coleman dan Hammen
(dalam Jalaluddin, 1989:46-47), setidaknya ada empat fungsi emosi dalam
kehidupan manusia:
a. Emosi berfungsi sebagai pembangkit energi
(energizer). Tanpa emosi, manusia tidak sadar atau sama dengan orang mati,
karena hidup artinya merasai, megalami, bereaksi, dan bertindak. Dengan emosi,
manusia membangkitkan dan memobilisasi energi yang dimilikinya: marah
menggerakkan untuk menyerang, takut menggerakkan untuk lari, cinta mendorong
manusia untuk mendekat dan bermesraan, dan seterusnya.
b. Emosi berfungsi sebagai pembawa informasi
(messenger). Keadaan diri sendiri dapat diketahui melalui emosi yang dialami.
Misalnya, marah berarti sedang dihambat atau diserang orang lain, sedih
menandakan hilangnya sesuatu yang disenangi atau dikasihi, bahagia berarti
memperoleh sesuatu yang disenangi atau berhasil menghindari hal yang tak
disukai.
c. Emosi berfungsi sebagai komunikasi
intrapersonal dan interpersonal sekaligus. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa emosi dapat dipahami secara universal.
d. Emosi berfungsi sebagai informasi tentang
keberhasilan yang telah dicapai. Ketika kita mendambakan kesehatan yang prima,
kondisi badan yang sehat menandakan bahwa apa yang kita dambakan berhasil. Kita
mencari keindahan dan mengetahui telah memperolehnya ketika kita merasakan
kenikmatan estetis dalam diri kita.[15]
E.
Proses
Keterbangkitan Emosi
Setiap pengalaman yang
melibatkan emosi, entah dalam bentuk emosi positif atau negatif, premier atau
campuran, pada dasarnya terjadi karena beberapa komponen dasar yang
melatarinya. Sally Planalp, guru besar di Universitas Montana yang banyak
mencurahkan perhatian pada masalah-masalah emosi, menjelaskan bahwa para ahli
sebenarnya berbeda pendapat tentang komponen esensial pada emosi, tetapi ia
mencoba mengangkat hal-hal paling populer yang disebut para ahli. Planalp
(1991:11) menulis:
(Meskipun
para teoretikus mungkin berbeda pendapat perihal komponen spesifik apa yang
menjadi dasar emosi, lima komponen agaknya muncul dalam sebagian besar
teori dalam satu bentuk atau lainnya: (1) obyek, penyebab, kejadian yang
terjadi secara mendadak (2) penilaian, (3) perubahan fisiologis, (4)
kecenderungan tindakan/ekspresi, dan (5) peraturan/pengawasan/kendala).
Kelima komponen
esensial yang melatari proses terjadinya emosi, sebagaimana disebut oleh
Planalp, akan dibahas secara rinci di bawah ini.
1. Penyebab Emosi
Teori
Kausalitas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia berlangsung
dalam logika sebab-akibat. Tidak
terbatas pada peristiwa-peristiwa aksidental di sekeliling kita, tapi
juga yang terjadi[16] dalam
diri sendiri. Obyek keterbangkitan emosi pada manusia sangatlah multidimensi,
mirip multidimensi realitas di alam itu sendiri. Obyek tersebut bisa mengambil
bentuk apa saja, mulai dari benda-benda kongkrit sampai yang abstrak. Ada
hubungan resiprokal antara obyek dengan subyeknya. Dengan kata lain, dalam
petistiwa emosi harus terjadi kontak antara obyek dengan subyek. Kontak itu ada
kalanya bersifat langsung dan tidak langsung. Disebut kontak langsung ketika
subyek dan obyek bertemu dalam urutan peristiwa secara simultan. Seorang ibu
terkulai lemas ketika menyaksikan putera nya bersimbah darah akibat tawuran
antarpelajar. Sedangkan disebut kontak tak langsung ketika subyek dan obyek bertemu dalam
rangkaian peristiwa secara non-simultan. Misalnya, seorang karyawan yang
dipermainkan atasannya ditempat kerja umumnya akan segara marah. Tapi, karena
kondisinya tidak memungkinkan, ia pun berusaha menutupi perasaannya dengan
tetap bersikap wajar, bahkan mungkin tetap berusaha menyunggingkan senyum. Namun, sesampainya di rumah sambil
memutar kembali peristiwa itu di dalam memorinya, sontak gejolak emosinya
memuncak sehingga secangkir kopi yang belum sempat dinikmatinya dibanting ke
lantai hingga berserakan.[17]
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya
2.
M. Darwis Hude, Emosi: Penjelajahan Religio Psikologis (E-books)
3.
Eric B. Shiraev dan David A. Levy, Psikologi Lintas Kultur
4.
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial (E-books)
5.
Aditya Putra Kurniawan & Nida UI Hasanat, Perbedaan Ekspresi
Emosi (Jurnal)
[2] Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015) h.80
[3] Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, h.83
[6] Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Jakarta: Airlangga
University Press, 2012) h. 210
[7] Eric B. Shiraev dan David A. Levy, Psikologi Lintas Kultur, (Jakarta:
Kencana, 2012) h.212
[8] Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Jakarta: Airlangga
University Press, 2012) h. 63
[9] Aditya Putra Kurniawan & Nida UI Hasanat, Perbedaan Ekspresi
Emosi, h.1
[10] Eric B. Shiraev dan David A. Levy, Psikologi Lintas Kultur, h.214
[11] Eric B. Shiraev dan David A. Levy, Psikologi Lintas Kultur, h.215
[12] Eric B. Shiraev dan David A. Levy, Psikologi Lintas Kultur, h.226
Langganan:
Postingan (Atom)